Ads Top

Pajak Ponsel Mewah Batal, Tak Menjamin Permintaan Turun?

Berita yang baru kita dengar bahwa pemerintah membatalkan kebijakan mengutip pajak Smartphone, melegakan..... Iya,.... saya pun sempat bernafas lega :)

Bagi saya sendiri, smartphone atau yang awam seperti saya lebih nyaman menyebutnya ponsel mewah masih menjadi kebutuhan tersendiri. Tapi bukan untuk style lho... kebgiatan sehari-hari tampaknya terus menuntut peralatan yang bisa membantu meringankan pekerjaan saya. Yang menjadi masalah, kenapa pemerintah berfikiran mengutip pajak dari ponsel mewah yang tersebar di gerai-gerai elektronik seluruh Indonesia? 

Pajak Ponsel Mewah


Sebenarnya langkah pemerintah mengutip pajak ponsel mewah (smartphone) sangat saya hargai, mengingat laju impor yang deras mungkin juga memicu melemahnya nilai tukar rupiah. Kita sebagai masyarakat terkadang tak sadar bahwa semua ini berimbas buruk bagi perekonomian, tapi disisi lain ada juga pihak-pihak yang diuntungkan bukan secara ekonomi, tapi pola hidup dan pola pikir.
ponsel mewah, smartphone

Smartphone jelas sangat membantu penggunanya semakin memperhitungkan bahwa waktu dan kesempatan sangat penting. Mulai dari alarm hingga pesan-pesan sosial media yang angsung diterima pengguna tak hanya membuat hidup kita simpel dan hemat,.... iya... maksudku hemat dalam penggunaan telepon yang dahulu menghabiskan banyak pulsa.

Sekarang, menghubungi seseorang cukup dengan VoIP ataupun via WiFi yang gratisan, pesan-pesan langsung diterima tanpa harus menunggu lama. Kalau di operator sering disebut 'pending' yang bisa membuat kita naik darah, ujung-ujungnya terpaksa harus ditelpon yang jelas mengkonsumsi pulsa secara rutin.

Haruskah Mengutip Pajak Ponsel?


Nah.... ini yang menjadi pertanyaan saya. Apakah negara kita terus menerus melarang impor sementara kebutuhan dalam negeri sendiri masih kekurangan? Masih banyak contoh lain yang sama persis seperti kasus ini, misalnya kedelai dan daging sapi. Kenapa tidak menggalakkan produksi dalam negeri? Apakah kita akan terus menerus menjadi negara konsumen?

Jikalau pemerintah terus mempertahankan kondisi seperti ini, maka saya berprasangka buruk bahwa pemerintah kita tidak melakukan sesuatu yang bisa merubah negara konsumen menjadi produsen. Faktanya, setelah 10 tahun lebih menjalani era reformasi kita malah semakin terpuruk, bukannya semakin maju. 

Seperti yang saya baca dari media Asyik, Ponsel Batal Kena Pajak Barang Mewah dengan tujuan positif, setidaknya pembatasan impor ini nantinya merangsang produksi ponsel dalam negeri meraih pasar besar nantinya. Ada keuntungan dan ada juga keekurangan yang pasti secara langsung bisa dirasakan pengguna smartphone. Tapi, apakah dengan pengutipan pajak ponsel mewah akan membatasi permintaan masyarakat?

Sebagai contoh, sewaktu saya membeli makanan yang tiba-tiba naik harganya dua kali lipat, toh... saya tetap membelinya karena memang menurut saya makanan itu layak dan enak.
Ini sama saja dengan ponsel mewah yang dikenakan pajak, minat beli tetap tinggi dan yang seharusnya ditingkatkan adalah kualitas dalam negeri harus bisa mensejajarkan posisinya diantara smartphone yang ada saat ini.
Jadi, sudah siapkah kita menerapkan pajak ponsel mewah sekaligus sebagai brand kamu walaupun cuma untuk angkat telepon dan sms?  Bagi sebagian yang benar-benar memanfaatkan fungsi smartphone akan sangat berat menerima pungutan pajak, bagi mereka yang sekedar untuk bergaya.... saya rasa harga bukan menjadi masalah besar.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.