Ads Top

Petani Sayur Beralih Profesi, Suatu Saat Kita Impor Sayuran

Bagaimana sikap dan peran pemerintah daerah untuk tetap mempertahankan petani sayur yang saat ini berangsur-angsur mulai berkurang.

Pedagang pasar pagi tak mengeluh tentang dagangan, mereka masih mendapat pasokan sayur dari wilayah lain setelah letusan gunung Sinabung. Khawatir soal sayuran? Saya rasa ini berlebihan mengingat masih banyaknya petani sayur lokal yang terus membudidayakan hasil bumi ini.

Ada yang berpendapat bahwa harga sayuran melonjak, tapi sebenarnya tidak demikian karena pasokan sayur tidak hanya berasal dari Berastagi. Bagaimanapun, tanah Karo bukan pemasok satu-satunya sayuran ke kota Medan, ini bisa terlihat didaerah pinggiran yang terus bertani.

pasar pagi, pedagang sayur

Banyak warga yang berfikir bahwa mereka seharusnya membeli stok sayuran dalam jumlah besar, langkah ini tidak tepat dan tentunya akan memicu kenaikan harga sayuran nantinya. Dan memang Berastagi dianggap sebagai salah satu daerah yang paling besar menghasilkan sayuran dan memasarkannya hampir keseluruh kota di Sumatera Utara.

Dari berita yang dimuat koran hari ini, sebagian besar resto dan hotel masih tetap mendapatkan pasokan sayur dan belum ada isu-isu kenaikan harga akibat dari bencana letusan gunung Sinabung. Saya rasa pemerintah kurang sigap menanggapi hal seperti ini, sayuran dianggap bukan hal penting. Jadi mungkin mereka berfikir tak perlu menegaskan kekhawatiran akan bahan pangan yang satu ini.

Pemerintah Harus Sikapi Petani Sayur

Kenapa hal ini dianggap penting? Menyikapi sayuran lokal agar jangan sampai kita meng-impor sayur seperti halnya impor buah dan kedelai. Jikalau semua produk pangan kita pun harus impor, dimana 'harga' mata uang kita? Sama saja kita tak usah membelanjakan rupiah, pemerintah cukup memberlakukan dollar didalam negeri.

Ada kalanya pemerindah daerah sesekali (atau lebih bagus sesering mungkin) melakukan survey dipasar dan survey diwilayah pertanian. Dan biasanya disetiap kabupaten mempunyai petani sayur dimana hasil panen mereka dipasarkan ke kota terdekat. Dengan kata lain bahwa pemerintah daerah menggalakkan kemandirian pangan termasuk sayuran.

Mungkin pejabat-pejabat itu berfikir bahwa sayuran bukan hal penting, tapi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan petani beras. Dan kita tahu bahwa sebagian besar beras yang terjual dipasaran adalah impor dimana negara kita sendiripun tak sanggup memenuhi kuota dalam negeri. Apakah kondisi ini juga akan terjadi pada sayuran? Saya sendiri berharap tidak demikian!
Tetapi akhir-akhir ini, petani sayur lokal berangsur-angsur mulai berkurang. Disebabkan perubahan zaman dimana generasi penerus hampir dikatakan tak ada yang ingin bertani, kalaupun ada mereka beralih budidaya tanaman keras seperti karet dan sawit. 
Apakah pemerintah tidak pernah memikirkan hal ini? Sewaktu-waktu harga sayur lokal melonjak karena kekurangan pasokan, suka atau tidak pemerintah harus meng-impor sayuran dalam jumlah besar. Kemudian pasar tradisional perlahan-lahan mati dan mulai ditinggalkan karen sayuran impor sudah dikemas dengan harga dan kualitas tertentu terpajang "ditoko-toko yang dilengkapi mesin kasir".

Untuk saat ini bisa kita lihat faktanya, berapa rata-rata usia petani sayur lokal? Semuanya diatas usia empat puluh tahun dan anak-anak mereka terdidik dikampus-kampus yang mengajarkan bisnis daripada membangun wirausaha, kemudian bekerja disalah satu gedung mewah dan tak pernah memegang cangkul seperti orang tuanya.

Fakta selanjutnya, anak-anak petani diajarkan orang tuanya untuk membudidayakan tanaman keras daripada sayuran yang penjualannya tidak senikmat hasil sawit dan karet. Setelah modal terkumpul, lahan sayuran lokal berubah menjadi perkebunan.

Jadi, dimana peran pemerintah yang berani menjamin kelangsungan pasokan sayur lokal? Sekarang saatnya pejabat-pejabat itu bekerja keras memikirkan cara yang tepat untuk mempertahankan produk sekaligus petani sayur, jangan sampai kita impor!

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.