Ads Top

Perbaiki Akses Jalan Antar Desa, Bosan Tagih Janji Pemerintah!

Mereka masih memiliki kebiasaan yang kita anggap kotor dan jadul, tapi tanpa sendal merupakan bagian dari kehidupan yang damai, merasakan panasnya sengatan bumi dari tapak kaki setiap hari ketika meng-akses jalan antar desa. Dan mungkin kita tak akan pernah berfikir, terlebih merasakan betapa nikmatnya hidup ketika sendal tidak diperlukan.

Tanpa sendal bukan berarti kehidupan mereka tak mencukupi, tapi inilah yang mereka rasakan ketika melewati akses jalan antar desa, menelusuri dan memaksa kita untuk melepaskan alas kaki. Ketika kaki-kaki itu berada diatas tanah yang kering ataupun berlumpur, begitu pula yang mereka rasakan bahwa negeri kita masih membutuhkan uluran tangan. Bagaimana mungkin mereka bisa menikmati fasilitas mencukupi, jikalau akses jalan sehari-hari pun masih saja mengganggu aktifitas sehari-hari.

tanpa sendal, medan bahaya

Bayangkan, jika akses jalan antar desa ini digunakan mereka untuk kebutuhan utama seperti jalur distribusi makanan pokok dan hasil bumi yang jelas-jelas terhambat. Apa yang mereka sebut otonomi daerah, nyatanya masih ada warga kita yang tak sanggup menggunakan sendal karena medan yang keras. Saban hari warga ini menggunakan akses jalan alternatif yang nyatanya sangat berbahaya, tetapi jalur ini pula dianggap paling cepat menuju desa lain.

Tuntut Janji Pejabat,... Kapan Akses Jalan Antar Desa Nyaman?


Sampai kapan kita terus menuntut janji pejabat yang mengiming-imingi pembangunan merata, otonomi daerah, kesejahteraan rakyat,... dan yang paling sering kita temui adalah kebalikannya untuk kesejahteraan pejabat. Tidak munafik, jika saya memberi bantuan dan ternyata bukan sendal yang mereka butuhkan, melainkan akses jalan dan jalur nyaman yang bisa membantu aktifitas sehari-hari lebih cepat.

Mungkin ini tidak sebanding bagi mereka yang hidup dipinggir hutan dan sungai, dimana akses jalan antar desa menggunakan rakit dan jembatan gantung. Bagaimana mungkin hasil bumi kita meningkat maksimal jikalau jalur distribusi tidak semulus aspal-aspal kota. Bahkan harga hasil bumi itu terkadang jauh lebih mahal karena nilai pengiriman yang sulit dan membutuhkan waktu seharian.

Kapan kita bisa melihat warga desa yang melintasi akses jalan tanpa melepas alas kaki? Kapan saya bisa melihat warga ini melintasi jembatan menggunakan sepeda tanpa harus mendorongnya dikarenakan jembatan yang kecil? Kapan pejabat-pejabat itu melek melihat kondisi lorong-lorong kecil dan jalan setapak yang sangat membantu distribusi dan alternatif akses jalan antar desa?

Tak semanis janji ketika pemilihan umum "Kami akan membangun fasilitas desa, jalanan lancar, petani sejahtera...." tapi nyatanya jembatan seperti ini pun masih dipertahankan karena dianggap mereka masih layak. Padahal warga yang melintas pun tak berani menggunakan kenderaan dan harus melepas sendal. Akses jalan antar desa bukan hal yang dipandang sebelah mata, justru jalur seperti inilah yang membuat hasil bumi lebih cepat terdistribusi.

Selama ini pemerintah berusaha keras membangun jalan-jalan yang menghubungkan kota dan desa, tapi mengapa mereka tidak memperhitungkan jalan alternatif? Ketika bencana menimpa dan memutuskan jalan utama, jalan alternatif adalah salah satu lintasan yang kerap digunakan untuk mengirim bahan makanan. Dan pada kenyataannya jalan-jalan seperti ini memiliki medan yang keras terlebih ketika musim hujan.

Jadi, tidak ada salahnya membangun jalan alternatif, walaupun dalam segi praktek nyata harus melibatkan warga desa, gotong royong membuat jalan baru, tak perlu diaspal tapi cukuplah menutupinya dengan batu krikil, dan ini akan membuat akses jalan antar desa jauh lebih nyaman dibanding jalan setapak.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.