Ads Top

Pemerintah Tak Harus Singkirkan Pasar Tradisional

Sejak jam tiga pagi pasar tradisional sudah dipenuhi pedagang kecil yang menjajakan berbagai kebutuhan masyarakat, begitupun masih banyak yang menyebut bangsa ini 'pemalas', dan kalangan atas memandang perlunya pergantian pasar meodern. Sebelum ayam berkokok, pedagang kecil sudah lebih dulu membuat kebisingan di sekitar pasar – pasar tradisional. Menantang hujan dan dinginnya cuaca pagi, siapa yang pantas disebut pemalas jikalau mereka mendahului kokok ayam dan terbitnya matahari.

Manusia Gigih Memenuhi Pasar Tradisional


Pasar tradisional mungkin tak hanya memberikan harga murah kebutuhan bangsa kita, tapi kita juga akan menemukan manusia gigih yang berjuang dari menjelang pagi hingga sore hari. Pasar tradisional adalah wajah asli bangsa ini yang tak mungkin menggantikan mereka dengan perdagangan-perdagangan di ruang sejuk.

pasar tradisional, pasar pagi

Siapa yang tak ingin membeli sayur segar, dipetik sore hari dan diperdagangkan malam harinya. Begitupun banyak pembeli yang menawarkan dengan harga murah, pedagang kecil tak memiliki pilihan lain dari pada sayuran layu dan tidak laku, lebih baik menjualnya dengan harga murah. Satu hal dan kekurangan pasar tradisional yang tak bisa mendukung pedagang kecil, menyediakan lemari pendingin bukan hal yang cukup mudah disamping harganya yang cukup mahal. Lagi pula, pedagang-pedagang kecil itu akan direpotkan dengan penggunaan listrik di dalam ruang pasar tradisional maupun kaki lima.
Pasar tradisional merupakan wujud bangsa yang gigih, perdagangan yang tidak merepotkan, menjamin penjualan produk segar, dan tawar menawar yang khas menggambarkan prilaku ekonomi dan segmentasi pasar dalam negeri.

Kesalahan Pemerintah, Menggusur Pasar Tradisional!


Ditengah berkembangnya sebuah kota, seorang pemimpin berusaha menggusur pasar tradisional menjadi sebuah gedung permanen yang memajang perdagangan dengan harga 'pas'. Mungkin, pemerintah harus memahami dan mempelajari lebih lanjut tentang ekonomi. Apa yang mereka lakukan merupakan suatu kesalah fatal dalam mengembangkan tata kota diantara masyarakat berbudaya yang menjunjung tinggi nilai tradisi.
Mungkin 'mereka' harus mengetahui bahwa transaksi yang menyumbang sebagian besar sumber pajak, pendapatan daerah (parkir, kebersihan, dsb), bahkan perputaran ekonomi berdampak pada aktifitas dan segmentasi pasar tradisional.
Menggantikan pasar tradisional dengan bangunan bergaya modern hanya akan membuncitkan perut-perut 'mereka'. Pada dasarnya bangsa ini belum bisa menerima sistem transaksi harga 'pas', tawar menawar tetap menjadi pilihan ditengah sulitnya zaman. Ini seperti pemaksaan, masyarakat dihadapkan dengan transaksi moderen padahal ekonomi kalangan menengah bawah tidak siap dengan kenyataan itu.


Kalau Kalian Setuju,... Mencintai Pasar Tradisional Layaknya Dapur Sendiri.


Anda bisa melihat contoh kecil disekitar lingkungan bahwa pasar tradisional lebih diminati. Supermarket yang memiliki banyak cabang di setiap kecamatan. Apakah seorang ibu ataupun pembantu rumah tangga membeli sayur dan kebutuhan harian disana? Meskipun mereka menyediakan, tapi bukan pilihan yang bijak ketika seorang ibu berbelanja disana.

Tentunya, aroma keringat pedagang kecil yang sudah bekerja keras dari menjelang subuh hingga siang hari, lebih melekat di hati para ibu dan pembantu rumah tangga. Dalam spritual mungkin lebih dikenal dengan 'pelet', tapi inilah kenyataan bahwa bangsa kita lebih peduli dengan sesama dan mencintai pasar tradisional layaknya dapur sendiri. Tanpa disadari 'bhineka' dan persatuan telah mendarah daging, dan kerusuhan-kerusauhan itu tak lain hanya sebuah kebutuhan pihak tertentu. Ini tak jauh beda dengan pengguna jejaring sosial yang diterpa musibah, kemudian pengguna lain mengadakan dukungan, tak lain merupakan solidaritas yang tinggi.

Entah karena 'mereka' berpikiran modern, atau menuju kota yang indah, ataupun dana itu mengalir deras hingga harus mengorbankan pasar tradisional yang dianggap kotor dan tidak teratur. Kita memang belum siap dari sisi ekonomi dan belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran teknologi. Bahkan masih banyak masyarakat yang tidak mampu menggunakan perangkat canggih dan bagaimana menggunakan kartu belanja semaksimal mungkin. Ini realita sosial, bukan maksud memperburuk pandangan bahwa kita jauh dari kemajuan.

Mana yang kalian pilih,... memasuki supermaket yang sejuk dan bersih atau menemui pedagang kecil? Dan kalian akan merasa rugi jikalau tak mencium aroma keringat di pasar tradisional.

61 komentar:

  1. ini hanya kepada persoalan pemilik modal Pak.

    Saya menduga biasanya ada semacam penyogokan oleh para pengusaha-pengusaha kepada pihak pemerintah daerah, sehingga mereka lebih memilih untuk menggusur pedagan-pedagang kecil untuk dijadikan Mall2 besar.

    BalasHapus
  2. Hiks sedih membacanya. Pasar tradisional itu ekonomi rakyat :(

    BalasHapus
  3. Siapa yang gak suka sih ya belanja di tempat yang sejuk dan bersih dan suasana yang mendukung hilangnya rasa jenuh dan stress. Tapiiiiii.........itu kan buat yang berkantong tebal. Kalo di pasar tradisionil kita bisa santai se-santai-santainya, baik dari cara kita berpakaian (yang penting sopan, hahahahah), dan penampilan. Baru bangun tidur, pasphoto bentar, ganti baju, pake sendal jepit, nenteng tas belanja..........bisa langsung ke pasar tradisionil. Apa bisa seperti itu belanja ke Pasar Swalayan yang muuueeggah? Gengsi kallleeee.........Jadi tetap pasar tradisionil-lah fav bunda.

    BalasHapus
  4. wowww ganti theme lagi tp lbh enak nih dilihatnya g kaya kemarin dg background krem hehe.. emang mas saya aja lbh suka belanja sayur ke pasar sambil pacaran tentunya :D anak ditinggal kalau masih tidur hehe tapi kalau belanja bulanan sih biasanya ke supermarket :D

    BalasHapus
  5. ndak pa pa digusur.. tapi di ganti dengan tempat baru yang lebih modern

    *ngebayangin pedagang sayur dalam toko-toko kaya di mall

    BalasHapus
  6. eh, saya ngga mau ah mengomentari sumber uangnya. Males,.. toh nantinya adem2 aja, ngga ada guna

    BalasHapus
  7. Tuh kan, bener.... yang merasa wanita pasti tau perkalian belanja, dan pasar tradisi tetap menjadi pilihan. apalagi sekarang zamannya perhitungan, irit :D

    BalasHapus
  8. Waduh,... berasa lajang.... Sayangnya, saya belum pernah menemani istri belanja, dasarnya memang ngga suka belanja sih :D

    BalasHapus
  9. Kapan ya????
    Tapi sekarang digusur diganti dengan si 'Super' itu,... pedagang kecil semakin tersingkir kepinggir kot

    BalasHapus
  10. Kalau di Bukittinggi, pasar tradisional memang khas bukittinggi. Tidak ada istilah membongkar pasar untuk dijadikan gedung harga 'pas' hehe

    BalasHapus
  11. Aku lebih suka berbelanja di "pajak" walau becek. Menurutku peralihan dari "pajak tradisional" ke mall itu cuma akan menambah kesulitan. Bayangkan kalau cuma untuk membeli sayur 1 ikat yg harganya Rp. 2000 harus pergi ke mall dengan angkot. Otomatis menambah biaya lagi untuk ongkos. Lebih mahal ongkos angkotnya daripada harga sayur.

    BalasHapus
  12. wah seenaknya sendiri, yang harus dikurangi itu mini market. mini market terlalu banyak dan tdak secara langsung matiin pendapatan pedagang kecil,,,

    BalasHapus
  13. sama mas, dibanjarmasin pun begitu pasar terapung lah yang menjadi salah satu maskot kota dan tak ada pikiran bodoh untuk membongkar pasar yang telah sekian lama berjalan

    BalasHapus
  14. di tempatku belum ada pasar tradisional yg digusur, mungkin karena bukan kota besar jadi para penguasa belum begitu rakus di sini :D

    btw theme junkie-nya keren bang...

    BalasHapus
  15. kalau aku mau ke pasar tradisonal tapi yg bersih dan gak becek :p

    BalasHapus
  16. Tanggung jawab pemerintah (daerah) ya membuat pasar tradisional punya daya saing: bersih, aman, nyaman. Bukan cuma memungut retribusi dengan karcis "sapon". Sekarang setiap kali ada renovasi pasar perhatikan saja instalasi listriknya. Apakah aman? Belum lagi soal becek dan bau :(

    BalasHapus
  17. bingung pak, disatu sisi, saya beberapa kali ke pasar tradisional, memang untuk mencari harga miring dari suatu barang, bukan karena masih berkualitas baik apa tidak, tapi masuk supermarket juga biasanya cuma numpang ngadem pak, cuci mata istilahnya, beli ya kalau ada yg dibeli, gak ya pulang. hehe,

    seperti negara moderen di luar sana pak, mereka juga punya banyak kok lokasi pasar tradisional, banyak sekali, banyak juga yg digusur, saya baca berita dalam bentuk bahasa inggris beberapa kali, jadi sepertinya sama saja, baik di negeri kita maupun disana. hak kapitalis tetaplah mengakar kuat menyengsarakan

    BalasHapus
  18. Mungkin pemerintah perlu memikirkan merubah nama pasar induk, pasar senen - sabtu, dan sejenisnya menjadi SUPERPASARINDO hahahaha.. termasuk membangun fasilitas dan kenyamanan sepertu si "super" itu dan atau termasuk menerima setoran sayuran dan kebutuhan lain mulai jam 02.01 dini hari :D

    BalasHapus
  19. saya setuju ma si boz yang no 1, saya rasa kebijakan pemerintah terlihat jelas sepihak banget bukan terkesan lagi...apalagi sekarang BBM mau naik, persoalan kesejahteraan rakyat terabaikan lah

    BalasHapus
  20. lebih baik sekarang semua pasar tradisional dirubah formatnya jadi pasar modern (seperti yg ada di bsd or bintaro), enak bersih, pedagang senang, yg belanja juga senang.

    BalasHapus
  21. Eank ya,... rasanya Bukit Tinggi diprioritaskan sebagai kota wisata

    BalasHapus
  22. Din, kamu ini mahasiswa apa PRT? Ko' sering belanja sayur :lol:

    BalasHapus
  23. Mini market yang mana? jangan salah lho,... mini market dijalankan 2 usahawan, yang paling gede adanya ditiap kecamatan yang terkadang juga menjual keperluan para ibu disana. Lalu sisanya,.. mini market milik masyarakat yang sekarang sedang sekarat

    BalasHapus
  24. Menggusur pasar terapung lebih sulit, apa sih yang bisa dibangun diatas air kecuali villa dan resto. Begitupun bagus, pemerintah sepertinya menggalakkan pasar tradisi disana.

    BalasHapus
  25. Berharap jangan digusur Wien.
    Theme ini kebagian pas promo kemarin, daripada disimpen mending dipake biar cepat habis :P

    BalasHapus
  26. Ngaku aja,.... kamu mau bilang 'Mall' kan? :P

    BalasHapus
  27. Bener Paman, sambungan listrik antar toko dibuat satu jalur. Soal bau dan kotor itu, tiap hari petugas mengutip retribusi, tapi ngga tau uangnya digunakan untuk apa. Malahan sebagian besar disini tak pernah mendapatkan 'bukti pembayaran'.

    BalasHapus
  28. Tapi yang saya dengar di luar negeri penggusuran diganti dengan lokasi dan ukuran yang sama, dan memang sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Bukan seperti dinegara ini, digusur kemudian diganti dengan ukuran yang lebih kecil. terkadang jauh dari pemukiman

    BalasHapus
  29. petugas mana yang bersedia bekerja mulai jam 02 dini hari? jangan berharap banyak dengan pegawai pemerintah,.... yang ujung2nya kita cuma berimajinasi dengan gedung2 pasar tradisi modern

    BalasHapus
  30. BBM ngga jadi naik, coba deh ngebayangin semisal hari ini naik BBM,..... Booom.....
    Apa pemerintah berani????

    BalasHapus
  31. walah,... ngga mengharap pasar-pasar modern itu berada dikota saya :(

    BalasHapus
  32. Itulah kekurangan kita. Misalkan pengelolaan pasar tak dikelola BUMD seperti Pasar Jaya, tapi diserahkan ke swasta, itupun bukan jaminan karena ada masalah ruwet yang tak ingin diselesaikan: korupsi, suap, kompromi.

    Kalau pasar modern di BSD bisa bagus karena dibangun dan dikelola oleh swasta. Kedai Oen Pao pertama yang saya kenal adalah di sana, dalam pasar.

    Pada beberapa negara maju, misalnya di Adelaide, Australia, pasar besar malah jadi obyek wisata. Pasarnya bersih, cara berfagangnya ya tradisional seperti kita.

    Saya sih lebih memilih swsasta diberi konsesi untuk membangun dan mengelola, bertanding dengan pasar tradisional milik pemda. Memang, kalau rujukannya Tanah Abang, jadi tampak ruwet.

    Repotnya, setiap niat baik yang memberi peran swasta tapi mengancam pemain lama akan segera dicap "kapitalis" dan "neoliberal". :D Ya bergantung UU dan perdanya dong. :D

    BalasHapus
  33. yang terakhir itu ngga enak paman,...
    lagi pula, sejak kapan 'mereka' merelakan pasar tradisi dikelola pihak swasta? Ngga bakalan terwujud ditempat saya, sepertinya ini kebun mereka. Buktinya, walaupun bau dan busuk, tetap saja retribusi itu berjalan di tanggal yang sama dan jam yang sama. Tak pernah telat sekalipun. Kantong mereka gede kan, Paman? :D

    BalasHapus
  34. setuju dengan komentar anda pak....

    BalasHapus
  35. Pasar tradisional harus tetap ada, selain aroma asin keringat, aroma kekeluargaan lebih kental dan terasa membumi, berbeda dengan pasar modern, sebagian dari CS-nya tersenyum karena keterpaksaan.

    BalasHapus
  36. Saya masih sering kok belanja di pasar tradisional...
    Makanya jangan di gusur ya.....

    Makanya....walau judulnya pasar tradisional,kalo bisa fasilitasnya jangan kalah ma care***r atau hyper***t, minimal ada ac nya, lantai keramik dan no bau ketek dan desek2an...
    hohoho

    |Ngareeep|

    BalasHapus
  37. Hal ini terjadi juga di Klaten, daerah asalku. Taon 90an awal ada sebuah mall masuk, tapi untung setelah itu ada anjuran untuk tak mendirikan mall di kabupaten dati II.

    Sayang, meski mall tak berdiri, tapi minimarket tetap banyak menjamur...

    BalasHapus
  38. Kalau saya tergantung mood.
    Kenikmatan belanja di supermarket dingin itu beda dengan belanja ke pasar tradisional.
    Saya suka kalau masuk supermarket, tapi ya memang rasanya tidak sehidup pasar tradisional......

    BalasHapus
  39. Terus terang kalo saya sih lebih suka masuk supermarket mas :D
    Cowok ya, jadi paling males ribet :D
    Tapi kalo ortu saya, doyannya belanja di pasar tradisional.
    Selain murah, harganya pun masih bisa ditawar :)

    BalasHapus
  40. liberalisasi ekonomi dan pasar bebas agaknya yang telah memicu penggusuran pasar2 tradisional. padahal, sejatinya pasa tradisionallah penyangga ekonomi rakyat yang sesungguhnya.

    BalasHapus
  41. di kota ini kurang lebih juga sama...
    harusnya mereka dibina, bukan dibinasakan,
    masalahnyo, wani viroooo...

    BalasHapus
  42. jadi inget pasar tradisional di daerah serang, yaitu pasar rawu...
    kalau seandainya disingkirkan juga, entah apa jadinya...

    BalasHapus
  43. Saya setuju, namun sangat tidak arif bagi mereka yang membiarkan pasar tradisional itu kumuh serta tidak terawat, disinilah tempat interaksi yang heterogen.

    BalasHapus
  44. Rasanya semua dibutuhkan antara Supermarket dengan Pasar Tradisional, terlebih pasar tradisonal... Ciri khas Indonesia, :-)

    BalasHapus
  45. Anak sekarang jadi tidak bisa nawar gara-gara pasar tradisional tergerus contohnya saya hehehehe. Padahal tawar-menawar itu menarik

    BalasHapus
  46. "mereka" bersembunyi dibalik aturan kebersihan dan keindaan kota demi membesarkan perutnya sendiri. mereka lupa siapa yang memeberikan amanat dan mandat agar bisa menduduki jabatanya yang sekarang ini dan bahan mereka dengan sengaja melupakanya.

    yah, mungkin seperti itulah keadaan yang terjadi

    BalasHapus
  47. Enaknya pasar tradisi selalu diriuhkan dengan suara jeritan, tawaran yang keras. kalau Supermarket identik dengan SPG, pria membeli sebagian besar disebabkan spg2 ini, bukan karena harga :D

    BalasHapus
  48. Nah, setau saya kalau cowok belanja kesana selain ngga ribet,... SPG nya itu lho :P

    BalasHapus
  49. Ya Pak,.... padahal banyak rakyat jelata tak familiar dengan pasar modern, sejatinya jangan menggusur, tapi mengganti metode dan tempat jauh lebih efektif

    BalasHapus
  50. Hehehhe,...... susah mencari pemimpin yang benar-benar pro rakyat seperti Pak Joko

    BalasHapus
  51. Di tempat saya ada juga yang digusur, tapi akhirnya ada titik2 tersendiri dimana mereka membangun pasar tradisi dengan bebas, misalnya dipinggir jalan dan perempatan. Jadi pasar tradisi tetap akan timbul walau digusur sekalipun.

    BalasHapus
  52. Kumuh, identik dengan pasar tradisi. Baunya itu terkadang tak tahan, begitupun masyarakat tetap mencintai walau petinggi tak berusaha membenahi :(

    BalasHapus
  53. Harusnya dibuat perbandingan, bukan memperbanyak pasar modern. Seandainya pasar modern lebih banyak, harga pasti jauh lebih tinggi. Mengingat ekonomi sekarang, itu merupakan hal sulit bukan?

    BalasHapus
  54. Anak sekarang lebih suka harga pas atau lebih suka dengan kasir dan SPG nya? :lol:

    BalasHapus
  55. Sudah berapa tahun ya? dulu sempat terhambat membesarkan perut petinggi dimasa kejayaan kpk, siapa sih yang tak merindukan? :(

    BalasHapus
  56. Serangan kapitalisme modern sudah sampai di semua lini, tidak twerkecuali pasar dan pedagang kecil. Anehnya tidak banyak pejabat yang peduli dengan kenyataan yang ada di depan mata. Hanya dongeng pengisi tidur yang di suarakan para calon penjabat saat kampanye dan janji itu tidak pernah / jarang ditepati :sad:


    Salam hanagat serta jabat erat selalu dari Tabanan

    BalasHapus
  57. Memang tak sepatutnya menggusur pasar tradisional, akan tetapi lebih bagusnya di tertibkan dan dibuat pasar tradisional yg sehat dan bersih.

    BalasHapus
  58. Iya mas sugeng, anehnya kalau menjelang pemilu mereka semua bagaikan Pahlawan yang kesana ksini ribut mempersoalkan hak rakyat. dan setahun kemudian setelah terpilih,... cerita pun berlanjut dengan penutupan 'buku' :(

    BalasHapus
  59. Nah, itu.... salaman dulu :D

    BalasHapus
  60. Waktu menunjukkan pukul 01.32 WIB saat itu, saya sedang asyik bermain laptop diemperan rumah. Tampak beberapa orang ibu-ibu dengan menggunakan sepeda onthel berberonjong saling bercakap sembari mengayuh sepeda. Beliau-beliau adalah pejuang desa kami yang membawa beragam jenis sayuran untuk dilansir ke pasar tradisional yang berjarak 5 km dari kampung. Setiap mata ini masih terbuka pada jam-jam itu, saat itu pula saya selalu menyaksikan fenomena ini. Semoga saja pasar tradisional tetap berjaya agar beliau senantiasa menemani renunganku di setiap sepertiga malam. Berilah kemudahan rezeki untuk beliau-beliau melalui pasar tradisional itu Tuhan

    BalasHapus
  61. Harapan kita begitu, semoga petinggi-petinggi itu sesekali melek dini hari,... lihat dan rasakan hidup diantara pasar :)

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.